Selamat Datang di Website Resmi MI Krandegan 1

.

SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA RAMADHAN 1442 H, SEMOGA ALLAH SELALU MERIDLOI PERJUANGAN MIKASA

03 Agustus 2022

Open Recrutment 2022


 

16 April 2021

Materi Ramadhan ke-5 : Bab Shalat Idul Fitri

 


BAB V

SHALAT IDUL FITRI

 

Ketika hari raya Idul Fitri atau Idul Adha tiba, seluruh umat Islam yang tidak ada uzur dianjurkan untuk keluar rumah, tak terkecuali perempuan haid. Perempuan yang sedang menstruasi memang dilarang untuk shalat tapi ia dianjurkan turut mengambil keberkahan momen tersebut dan merayakan kebaikan bersama kaum muslimin lainnya. Setiap orang pada saat itu dianjurkan menampakkan kebahagiaan dan kegembiraan.

Hukum shalat id adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Sejak disyariatkan pada tahun kedua hijriah, Rasulullah tidak meninggalkannya hingga beliau wafat, kemudian ritual serupa dilanjutkan para sahabat beliau.

Secara global syarat dan rukun shalat id tidak berbeda dari shalat fardhu lima waktu, termasuk soal hal-hal yang membatalkan. Tapi, ada beberapa aktivitas teknis yang agak berbeda dari shalat pada umumnya. Aktivitas teknis tersebut berstatus sunnah.

Waktu shalat Idul Fitri dimulai sejak matahari terbit hingga masuk waktu dhuhur. Berbeda dari shalat Idul Adha yang dianjurkan mengawalkan waktu demi memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat yang hendak berkurban selepas rangkaian shalat id, shalat Idul Fitri disunnahkan memperlambatnya. Hal demikian untuk memberi kesempatan mereka yang belum berzakat fitrah.

Shalat id dilaksanakan dua rakaat secara berjamaah dan terdapat khutbah setelahnya. Namun, bila terlambat datang atau mengalami halangan lain, boleh dilakukan secara sendiri-sendiri (munfarid) di rumah ketimbang tidak sama sekali.

Berikut tata cara shalat id secara tertib. Penjelasan ini bisa dijumpai antara lain di kitab Fashalatan karya Syekh KHR Asnawi, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama asal Kudus; atau al-Fiqh al-Manhajî ‘ala Madzhabil Imâm asy-Syâfi‘î (juz I) karya Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan 'Ali asy-Asyarbaji.

Pertama, shalat id didahului niat yang jika dilafalkan akan berbunyi “ushallî rak‘ataini sunnatan li ‘îdil fithri”. Ditambah “imâman” kalau menjadi imam, dan “ma'mûman” kalau menjadi makmum.

 أُصَلِّي سُنَّةً لعِيْدِ اْلفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ (مَأْمُوْمًاإِمَامًا) لِلهِ تَعَــــالَى

Artinya: “Aku berniat shalat sunnah Idul Fitri dua rakaat (menjadi makmum/imam) karena Allah ta’ala.”

Hukum pelafalan niat ini sunnah. Yang wajib adalah ada maksud secara sadar dan sengaja dalam batin bahwa seseorang akan menunaikan shalat sunnah Idul Fitri. Sebelumnya shalat dimulai tanpa adzan dan iqamah (karena tidak disunnahkan), melainkan cukup dengan menyeru "ash-shalâtu jâmi‘ah".

Kedua, takbiratul ihram sebagaimana shalat biasa. Setelah membaca doa iftitah, disunnahkan takbir lagi hingga tujuh kali untuk rakaat pertama. Di sela-sela tiap takbir itu dianjurkan membaca:

 اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Artinya: “Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang.”

Atau boleh juga membaca:

 سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

 Artinya: “Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, Allah maha besar.”

 

Ketiga, membaca Surat al-Fatihah. Setelah melaksanakan rukun ini, dianjurkan membaca Surat al-A'lâ. Berlanjut ke ruku’, sujud, duduk di antara dua sujud, dan seterusnya hingga berdiri lagi seperti shalat biasa.

Keempat, dalam posisi berdiri kembali pada rakaat kedua, takbir lagi sebanyak lima kali seraya mengangkat tangan dan melafalkan “allâhu akbar” seperti sebelumnya. Di antara takbir-takbir itu, lafalkan kembali bacaan sebagaimana dijelaskan pada poin kedua. Kemudian baca Surat al-Fatihah, lalu Surat al-Ghâsyiyah. Berlanjut ke ruku’, sujud, dan seterusnya hingga salam.

Sekali lagi, hukum takbir tambahan (lima kali pada pada rakaat kedua atau tujuh kali pada rakaat pertama) ini sunnah sehingga apabila terjadi kelupaan mengerjakannya, tidak sampai menggugurkan keabsahan shalat id.

Kelima, setelah salam, jamaah tak disarankan buru-buru pulang, melainkan mendengarkan khutbah Idul Fitri terlebih dahulu hingga rampung. Kecuali bila shalat id ditunaikan tidak secara berjamaah. Hadits Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah mengungkapkan:

 السنة أن يخطب الإمام في العيدين خطبتين يفصل بينهما بجلوس

“Sunnah seorang Imam berkhutbah dua kali pada shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dan memisahkan kedua khutbah dengan duduk.” (HR Asy-Syafi’i)

Pada khutbah pertama khatib disunnahkan memulainya dengan takbir hingga sembilan kali, sedangkan pada khutbah kedua membukanya dengan takbir tujuh kali. Wallâhu a’lam. (Mahbib)

 

 

::: Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada 23 Juni 2017, pukul 15.00. Redaksi mengunggahnya ulang dengan sedikit penyuntingan.

 

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/79070/tata-cara-shalat-idul-fitri


Materi Ramadhan ke-4 : Bab Shalat Tarawih

 



BAB IV

SHALAT TARAWIH

Shalat tarawih merupakan salah satu praktik untuk menghidupkan malam Ramadhan (qiyamu Ramadhan). Ibadah ini memiliki keutamaan-keutamaan yang memang ditemukan landasannya dari hadits Rasulullah.
 
  •   Waktu dan Jumlah Rakaat

 Shalat tarawih disyariatkan pada malam bulan Ramadhan, waktunya mulai setelah shalat isya’ sampai akhir malam. Ia dikerjakan setelah shalat isya’ sebelum shalat witir. Boleh dikerjakan setelah witir namun tidak afdhal.

Lama shalat witir perlu dipertimbangkan sesuai kondisi jamaah. Meskipun Rasulullah mengerjakan sangat panjang waktunya, namun perlu dipertimbangkan agar tidak memberatkan jamaah, khususnya di zaman sekarang.

Rasulullah mengerjakan shalat tarawih delapan rakaat lalu witir tiga rakaat. Namun waktunya lama karena bacaan beliau panjang-panjang. Di zaman Umar bin Khattab, shalat tarawih dikerjakan dua puluh rakaat, ditambah witir tiga rakaat. Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan bahwa jumlah rakaat tersebut merupakan ijma’ sahabat pada waktu itu.

Jadi, masalah jumlah rakaat shalat tarawih ini merupakan masalah furu’iyah yang para ulama memiliki hujjah sendiri-sendiri. Sebagian ulama shalat tarawih delapan rakaat karena berpegang pada hadits Aisyah yang menyebutkan shalat malam Rasulullah baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya tidak pernah lebih dari 11 rakaat. Ulama madzab Syafi’i melaksanakan shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat sebagaimana penjelasan hadits :

 عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَرضي الله عنه فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً

“Dari Yazid bin Ruman telah berkata, ‘Manusia senantiasa melaksanakan shalat pada masa Umar radliyallahu ‘anh di bulan Ramadhan sebanyak 23 rakaat (20 rakaat tarawih, disambung 3 rakaat witir),” (HR Malik).

Bukti lain dari keterangan tersebut adalah hadist yang diriwayatkan Sa’ib bin Yazid:

 عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه البيهقي وَصَحَّحَ إِسْنَادَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ) ـ

Artinya: “Dari Sa’ib bin Yazid, ia berkata, ‘Para sahabat melaksanakan shalat (tarawih) pada masa Umar ra di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat,” (HR. Al-Baihaqi, sanadnya dishahihkan oleh Imam Nawawi dan lainnya).


Sebagian ulama shalat tarawih 20 rakaat karena mengikuti kaum Muhajirin dan Anshar yang juga dilakukan pada masa khalifah Umar. Sebagian ulama lainnya shalat tarawih 36 rakaat karena mencontoh masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

 

Menurut Ibnu Taimiyah, seluruh pendapat di atas bagus. Imam Ahmad juga berpendapat jumlah rakaat shalat tarawih tidak dibatasi; delapan rakaat boleh, 20 rakaat boleh, 36 rakaat juga boleh.

Keutamaan Shalat Tarawih

 

Shalat tarawih memiliki sejumlah keutamaan yang luar biasa. Berikut ini di antaranya:

 

1. Diampuni Allah

 

Secara khusus, shalat tarawih yang dikerjakan dengan ikhlas akan mendatangkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dosa-dosa terdahulu akan diampuniNya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

 مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa bangun pada malam bulan Ramadhan karena iman dan mengarapkan perhitungan dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim)

 

2. Sholat Sunnah Paling Utama

 

Shalat tarawih disebut juga sebagai qiyamu Ramadhan. Ia adalah shalat malam pada bulan Ramadhan. Karenanya, ia juga memiliki keutamaan shalat malam pada umumnya sebagaimana sabda Rasulullah:

 أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ قِيَامُ اللَّيْلِ

 “Shalat yang paling afdhol setelah shalat fardhu adalah shalat malam” (HR. An Nasa’i)

 

3. Kemuliaan dan Kewibawaan

Orang yang shalat malam, termasuk shalat tarawih, akan dianugerahi Allah kemuliaan dan kewibawaan.

 وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْـمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ

 “Dan ketahuilah, bahwa kemuliaan dan kewibawaan seorang mukmin itu ada pada shalat malamnya” (HR. Hakim; hasan)

 

4. Kebiasaan Orang Shalih

 Sholat malam merupakan kebiasaan orang-orang shalih terdahulu. Maka siapa yang mengerjakannya, ia pun dicatat sebagai orang-orang shalih sebagaimana mereka.

 “Biasakanlah dirimu untuk shalat malam karena hal itu tradisi orang-orang shalih sebelummu, mendekatkan diri kepada Allah, menghapus dosa, menolak penyakit, dan pencegah dari dosa.” (HR. Ahmad)

 

  •   Tata Cara Shalat Tarawih

Shalat tarawih disunnahkan untuk dikerjakan secara berjamaah di masjid. Boleh 8 rakaat, 20 rakaat atau 36 rakaat sesuai kebijakan di masjid tersebut. Secara umum, ia dikerjakan dua rakaat salam, dua rakaat salam.

 Secara ringkas, tata caranya sama dengan sholat sunnah dua rakaat pada umumnya, yaitu:

  •   Niat
  •  Takbiratul ihram, diikuti dengan doa iftitah
  •  Membaca surat Al Fatihah
  •   Membaca surat atau ayat Al Qur’an
  •   Ruku’ dengan tuma’ninah
  •  I’tidal dengan tuma’ninah
  •   Sujud dengan tuma’ninah
  •   Duduk di antara dua sujud dengan tuma’ninah
  •   Sujud kedua dengan tuma’ninah
  •   Berdiri lagi untuk menunaikan rakaat kedua
  •   Membaca surat Al Fatihah
  •   Membaca surat atau ayat Al Qur’an
  •   Ruku’ dengan tuma’ninah
  •   I’tidal dengan tuma’ninah
  • Sujud dengan tuma’ninah
  •  Duduk di antara dua sujud dengan tuma’ninah
  •   Sujud kedua dengan tuma’ninah
  •   Tahiyat akhir dengan tuma’ninah
  •   Salam

Demikian diulangi hingga sepuluh kali salam untuk yang delapan rakaat. Setelah dua kali salam, hendaklah beristirahat sejenak baru melanjutkan shalat lagi. Untuk bacaan setiap gerakan shalat, bisa dibaca di Bacaan Sholat.

 

  •   Niat Shalat Tarawih

 Semua ulama sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Melafalkan niat bukanlah suatu syarat. Artinya, tidak harus melafalkan niat. Namun sebagian ulama selain madzhab Maliki, menjelaskan hukum melafalkan niat adalah sunnah dalam rangka membantu hati menghadirkan niat.

Sedangkan dalam madzhab Maliki, yang terbaik adalah tidak melafalkan niat karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam madzhab Syafi’i, niat shalat tarawih sebagai makmum dilafalkan sebagai berikut:

Lafadz niat shalat tarawih sebagai makmum :

 أُصَلِّيْ سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مَأْمُوْمًا لِلَّهِ تَعَالَى

 (Usholli sunnatat taroowihi rok’ataini ma’muuman lillahi ta’aalaa)

 Artinya: “Aku niat sholat sunnah tarawih dua rakaat sebagai makmum karena Allah Ta’ala”

 

Sedangkan niat shalat tarawih sebagai imam lafadznya sebagai berikut:

 أُصَلِّيْ سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ إِمَامًا لِلَّهِ تَعَالَى

 (Usholli sunnatat taroowihi rok’ataini imaaman lillahi ta’aalaa)

 Artinya: “Aku niat sholat sunnah tarawih dua rakaat sebagai imam karena Allah Ta’ala”

 

Rasulullah membaca surat-surat yang panjang dalam shalat tarawih sehingga waktu shalatnya sangat lama. Abu Dzar Al Ghifari meriwayatkan, sebagian sahabat khawatir tertinggal sahur karena begitu lamanya shalat bersama Rasulullah.

 فَقُمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاَحُ. يَعْنِى السَّحُورَ

 Kami mengerjakan shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai-sampai kami merasa takut tertinggal falah, yakni sahur.

 

Menurut Qadhi Abu Ya’la, standar panjangnya bacaan shalat tarawih adalah satu juz per malam. “Rasanya tidak baik jika bacaan Al Quran kurang dari satu kali khatam selama satu bulan. Sebab tujuannya agar bacaan itu didengar oleh seluruh makmum. Namun tidak baik juga jika lebih dari satu kali khatam karena khawatir memberatkan makmum.”

 

Di masa sekarang, panjangnya bacaan perlu disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masyarakat. Imam Ahmad mengatakan, “Dalam shalat tarawih, sebaiknya imam membaca ayat-ayat pendek atau ringan agar tidak memberatkan, terlebih jika waktu malamnya pendek. Berat ringannya tergantung kesiapan makmum.”

 

Demikian Tata Cara Shalat Tarawih, Niat, Bacaan dan Keutamaan. Semoga bermanfaat dan kita semua dimudahkan Allah untuk mendirikannya selama bulan Ramadhan ini. Untuk pembahasan sholat witir bisa dibaca di artikel Sholat Witir.

 

Sumber : NU Online


Materi Ramadhan ke-3 : Bab Zakat Fitrah

 

BAB III

ZAKAT FITRAH

 

A.    Pengertian Zakat Fitrah

Zakat artinya suci atau tumbuh berkembang. Disebut demikian karena zakat berfungsi untuk menyucikan harta dan hati orang yang berzakat sedang orang yang menerimanya diharapkan ekonominya bisa tumbuh dan berkembang.

Ø  Syarat wajib zakat fitrah :

1. Islam

2. Merdeka (bukan budak, hamba sahaya)

3. Mempunyai kelebihan makanan atau harta dari yang diperlukan di hari raya dan malam hari raya. Maksudnya mempunyai kelebihan dari yang diperlukan untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang wajib ditanggung nafkahnya, pada malam dan siang hari raya. Baik kelebihan itu berupa makanan, harta benda atau nilai uang.

4. Menemui waktu wajib mengeluarkan zakat fitrah. Artinya menemui sebagian dari bulan Ramadhan dan sebagian dari awalnya bulan Syawwal (malam hari raya).

Keterangan:

Yang dimaksud “mempunyai kelebihan” di sini adalah kelebihan dari kebutuhan pokok sehari-harinya. Maka barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari, seperti rumah yang layak, perkakas rumah tangga yang diperlukan, pakaian sehari-hari dan lain-lain tidak menjadi perhitungan. Artinya, jika tidak mampu membayar zakat fitrah, harta benda di atas tidak wajib dijual guna mengeluarkan zakat.

Jenis dan kadar zakat fitrah :

1. Berupa bahan makanan pokok daerah tersebut (bukan uang)

2. Sejenis. Tidak boleh campuran

3. Jumlahnya mencapai satu Sho’ untuk setiap orang. ( 1 Sho’ = 4 mud = kurang lebih 3 Kilogram )

4. Diberikan di tempatnya orang yang dizakati.

Misalnya, seorang ayah yang berada di Surabaya dengan makanan pokok beras, menzakati anaknya yang berada di Trenggalek dengan makanan pokok jagung. Maka jenis makanan yang digunakan zakat adalah jagung dan diberikan pada faqir miskin di Trenggalek.

Catatan :

   Menurut Imam Abu Hanifah, zakat fitrah boleh dikeluarkan dalam bentuk qimah atau uang.

   Jika tidak mampu 1 sho’, maka semampunya bahkan jika tidak mempunyai kelebihan harta sama sekali, maka tidak wajib zakat fitrah.

B.   Waktu mengeluarkan zakat fitrah

Waktu pelaksanaan mengeluarkan zakat fitrah terbagi menjadi 5 kelompok :

1.    Waktu wajib : Yaitu, ketika menemui bulan Ramadhan dan menemui sebagian awalnya bulan Syawwal. Oleh sebab itu orang yang meninggal setelah maghribnya malam 1 Syawwal, wajib dizakati. Sedangkan bayi yang lahir setelah maghribnya malam 1 Syawwal tidak wajib dizakati.

2.    Waktu jawaz : Yaitu, sejak awalnya bulan Ramadhan sampai memasuki waktu wajib.

3.    Waktu Fadhilah (Utama) : Yaitu, setelah terbit fajar dan sebelum sholat hari raya.

4.    Waktu makruh : Yaitu, setelah sholat hari raya sampai menjelang tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawwal kecuali jika ada udzur seperti menanti kerabat atau orang yang lebih membutuhkan, maka hukumnya tidak makruh.

5.    Waktu haram : Yaitu, setelah tenggelamnya matahari tanggal 1 Syawwal kecuali jika ada udzur seperti hartanya tidak ada ditempat tersebut atau menunggu orang yang berhak menerima zakat, maka hukumnya tidak haram. Sedangkan status dari zakat yang dikeluarkan tanggal 1 Syawwal adalah qodho’.

 

Ø  Syarat sahnya zakat :

1. Niat.

Harus niat di dalam hati ketika mengeluarkan zakat, memisahkan zakat dari yang lain, atau saat memberikan zakat kepada wakil untuk disampaikan kepada yang berhak atau antara memisahkan dan memberikan.

- Niat zakat untuk diri sendiri :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنْ نَفْسِي / هَذَا زَكاَةُ مَالِي اْلمَفْرُوْضَةْ

" Saya niat mengeluarkan zakat untuk diriku / ini adalah zakat harta wajibku”

Jika niat zakat fitrah atas nama orang lain, hukumnya diperinci sebagai berikut :

a. Jika orang lain yang dizakati termasuk orang yang wajib ditanggung nafkah dan zakat fitrahnya, seperti istri, anak-anaknya yang masih kecil, orang tuanya yang tidak mampu dan setrusnya, maka yang melakukan niat adalah orang yang mengeluarkan zakat tanpa harus minta idzin dari orang yang dizakati. Namun boleh juga makanan yang akan digunakan zakat diserahkan oleh pemilik kepada orang-orang tersebut supaya diniati sendiri-sendiri.

b. Jika mengeluarkan zakat untuk orang yang tidak wajib ditanggung nafkahnya, seperti orang tua yang mampu, anak-anaknya yang sudah besar (kecuali jika dalam kondisi cacat atau yang sedang belajar ilmu agama), saudara, ponakan, paman atau orang lain yang tidak ada hubungan darah dan seterusnya, maka disyaratkan harus mendapat idzin dari orang-orang tersebut. Tanpa idzin dari mereka , maka zakat yang dikeluarkan hukumnya tidak sah.

- Niat atas nama anaknya yang masih kecil :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنْ وَلَدِي الصَّغِيْرِ

“ Saya niat mengeluarkan zakat atas nama anakku yang masih kecil…”

- Niat atas nama ayahnya :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنْ اَبِي

“ Saya niat mengeluarkan zakat atas nama ayahku…”

- Niat atas nama ibunya :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنء اُمِّي

“ Saya niat mengeluarkan zakat atas nama ibuku…”

- Niat atas nama anaknya yang sudah besar dan tidak mampu :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنْ وَلَدِي اْلكَبِيْرِ

“ Saya niat mengeluarkan zakat atas nama anakku yang sudah besar…”

 

2. Dikeluarkan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat

Orang-orang yang berhak menerima zakat :

Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat dalam Al-Quran Allah Swt berfirman:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ.

a. Faqir

Faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau pekerjaan sama sekali, atau orang yang mempunyai harta atau pekerjaan namun tidak bisa mencukupi kebutuhannya. Misalnya dalam sebulan ia butuh biaya sebesar Rp; 500.000, namun penghasilannya hanya mendapat Rp; 200.000 (tidak mencapai separuh yang dibutuhkan). Yang dimaksud dengan harta dan pekerjaan di sini adalah harta yang halal dan pekerjaan yang halal dan layak. Dengan demikian yang termasuk golongan faqir adalah :

1.  Tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekali

2.  Mempunyai harta, namun tidak mempunyai pekerjaan. Sedangkan harta yang ada sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan selama umumnya usia manusia.

3.  Mempunyai harta dan pekerjaan, harta saja atau pekerjaan saja namun harta atau pekerjaan tersebut haram menurut agama. Bagi orang yang mempunyai harta yang melimpah atau pekerjaan yang menjanjikan, namun haram menurut agama, maka orang tersebut termasuk faqir sehingga berhak dan boleh menerima zakat.

4.  Tidak mempunyai harta dan mempunyai pekerjaan, namun tidak layak baginya. Seperti pekertjaan yang bisa merusak harga diri, kehormatan dan lain-lain.

 

b. Miskin.

Miskin adalah orang yang mempunyai harta atau pekerjaan yang tidak bisa mencukupi kebutuhannya dan orang-orang yang ditanggung nafkahnya. Misalnya dalam sebulan ia butuh biaya sebesar Rp; 500.000, namun penghasilannya hanya mendapat Rp; 400.000 (mencapai separuh yang dibutuhkan).

 

c. Amil.

Amil zakat yaitu orang-orang yang diangkat oleh Imam atau pemerintah untuk menarik zakat kepada orang yang berhak menerimanya dan tidak mendapat bayaran dari baitul mal atau Negara. Amil zakat meliputi bagian pendataan zakat, penarik zakat, pembagi zakat dan lain-lain. Jumlah zakat yang diterima oleh amil disesuaikan dengan pekerjaan yang dilakukan alias memakai standart ujroh mistly (bayaran sesuai tugas kerjaannya masing-masing).

Syarat-syarat amil zakat :

1.Islam

2.Laki-laki

3.Merdeka

4.Mukallaf

5.Adil

6.Bisa melihat

7.Bisa mendengar

8.Mengerti masalah zakat (faqih / menguasai)

 

d. Muallaf

Secara harfiyah, muallaf qulubuhum adalah orang-orang yang dibujuk hatinya. Sedangkan orang-orang yang termasuk muallaf, yang nota bene berhak menerima zakat adalah :

1. Orang yang baru masuk Islam dan Iman (niat) nya masih lemah.

2. Orang yang baru masuk Islam dan imannya sudah kuat, namun dia mempunyai kemuliaan dikalangan kaumnya. Dengan memberikan zakat kepadanya, diharapkan kaumnya yang masih kafir mau masuk Islam.

3. Orang Islam yang melindungi kaum muslimin dari gangguan dan keburukan orang-orang kafir

4. Orang Islam yang membela kepentingan kaum muslimin dari kaum muslim yang lain yang dari golongan anti zakat atau pemberontak dan orang-orang non Islam.

Semua orang yang tergolong muallaf di atas berhak menerima zakat dengan syarat Islam. Sedangakan membujuk non muslim dengan menggunakan harta zakat itu tidak boleh.

 

e. Budak mukatab

Budak mukatab yaitu budak yang dijanjikan merdeka oleh tuannya apabila sudah melunasi sebagian jumlah tebusan yang ditentukan dengan cara angsuran. Tujuannya untuk membantu melunasi tanggungan dari budak mukatab.

 

f. Ghorim (orang yang berhutang)

Ghorim terbagi menjadi 3 bagian :

1. Orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang atau dua kelompok yang sedang bertikai.

2. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan diri sendiri dan keluarga.

3. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan umum, seperti berhutang untuk membangun masjid, sekolah, jembatan dan lain-lain.

4.  Orang yang berhutang untuk menanggung hutangnya orang lain.

 

g. Sabilillah

Sabilillah yaitu orang yang berperang di jalan Allah dan tidak mendapatkan gaji. Sabilillah berhak menerima zakat untuk seluruh keperluan perang. Sejak berangkat sampai kembali, sabilillah dan keluarganya berhak mendapatkan tunjangan nafkah yang diambilkan dari zakat. Sedangkan yang berhak memberikan zakat untuk sabilillah adalah imam (penguasa) bukan pemilik zakat.

Keterangan :

Dikalangan ulama terdapat khilaf tentang makna fii sabilillah; Ada pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud fii sabilillah tiada lain adalah orang-orang yang menjadi sukarelawan untuk berperang di jalan Allah Swt dan tidak mendapatkan gaji, dan inilah pendapat mayoritas para ulama (pendapat yang kuat). Sebagian ulama mengatakan bahwa fii sabilillah adalah semua aktifitas yang menyangkut kebaikan untuk Allah sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Qaffal, seperti untuk sarana-sarana pendidikan dan peribadatan Islam. Dan pendapat ini adalah lemah.

 

h. Ibnu sabil (musafir)

Ibnu sabil yaitu orang yang memulai bepergian dari daerah tempat zakat atau musafir yang melewati daerah tempat zakat dengan syarat :

1. Bukan bepergian untuk maksyiat

2. Membutuhkan biaya atau kekurangan biaya. Walaupun ia mempunyai harta di tempat yang ia tuju.

 

Ø  Orang-orang yang tidak berhak menerima zakat :

1. Orang kafir atau murtad

2. Budak / hamba sahaya selain budak mukatab

3. Keturunan dari bani Hasyim dan Bani Muthalib (para habaib), sebagaimana hadits shohih, Nabi Saw bersabda :

إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلَا لِآلِ مُحَمَّدٍ

“Sesungguhya shodaqah ini (zakat) adalah kotoran manusia dan tidak dihalalkan bagi Muhammad dan keluarga Muhammad”.

4. Orang kaya. Yaitu orang yang penghasilannya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.

5. Orang yang ditanggung nafkahnya. Artinya, orang yang berkewajiban menanggung nafkah, tidak boleh memberikan zakatnya kepada orang yang ditanggung tersebut.

 

Ø  Mekanisme pembagian zakat

Apabila zakat dibagikan sendiri oleh pemilik atau wakilnya, maka perinciannya sebagai berikut :

- Jika orang yang berhak menerima zakat terbatas (bisa dihitung), dan harta zakat mencukupi, maka mekanisme mengeluarkan zakatnya harus mencakup semua golongan penerima zakat yang ada di daerah tempat kewajiban zakat. Dan dibagi rata antar golongan penerima zakat.

- Jika orang yang berhak menerima zakat tidak terbatas atau jumlah harta zakat tidak mencukupi, maka zakat harus diberikan pada minimal tiga orang untuk setiap golongan penerima zakat.

Pemilik zakat tidak boleh membagikan zakatnya pada orang-orang yang bertempat di luar daerah kewajiban zakat. Zakat harus diberikan pada golongan penerima yang berada di daerah orang yang dizakati meskipun bukan penduduk asli wilayah tersebut.

Sedangkan jika pembagian dilakukan oleh Imam (penguasa), baik zakat tersebut diserahkan sendiri oleh pemilik kepada Imam atau diambil oleh Imam, maka harus dibagi dengan cara sebagai berikut :

a. Semua golongan penerima zakat yang ada harus mendapat bagian

b. Selain golongan amil, semua golongan mendapat bagian yang sama.

c. Masing-masing individu dari tiap golongan penerima mendapat bagian (jika harta zakat mencukupi)

d. Jika hajat dari masingf-masing individu sama, maka jumlah yang diterima juga harus sama.

Catatan :

Menurut pendapat Imam Ibnu Ujail Rh adalah :

1. Zakat boleh diberikan pada satu golongan dari beberapa golongan yang berhak menerima zakat.

2. Zakatnya satu orang boleh diberikan pada satu yang berhak menerima zakat.

3. Boleh memindah zakat dari daerah zakat.

Tiga pendapat terakhir boleh kita ikuti (taqlid) walaupun berbeda dengan pendapat dari Imam Syai’i . Mengingat sulitnya membagi secara rata pada semua golongan, apalagi zakat fitrah yang jumlahnya tidak begitu banyak.

 

Ø  Tanya jawab seputar masalah zakat :

♦ Soal : Sah kah panitia zakat / amil yang dibentuk oleh kelurahan ?

Jawab : Jika memenuhi persyaratan-persyaratannya seperti diangkat oleh Imam dan panitia itu termasuk orang yang menguasai bab zakat, maka dapat disebut amil zakat. ( Buka kitab Al-Bajury, jilid 1 hal: 290 ).

 

♦ Soal : Apakah pengurus panitia zakat yang didirikan oleh suatu organisasi Islam itu termasuk amil menurut Syare’at, ataukah tidak ?

Jawab : Panitia pembagian zakat yang ada pada waktu ini tidak termasuk amil zakat menurut agama Islam, sebab mereka tidak diangkat oleh Imam (kepala negara). (Buka kitab Al-Bajuri 1/283 dan At-Taqrirat : 424).

 

♦ Soal : Bolehkah zakat fitrah dijual oleh panitia zakat dan hasil penjualannya dipergunakan menurut kebijaksanaan panitia ?

Jawab : Zakat fitrah tidak boleh dijual kecuali oleh mustahiqnya. (Buka kitab Al-Anwar juz 1 bab zakat)

 

♦ Soal : Bolehkah zakat atau sebagiannya dijadikan modal usaha bagi panitia-panitia zakat atau badan-badan sosial tersebut ?

Jawab : Tidak boleh zakat atau sebagiannya dijadikan modal usaha bagi panitia-panitia atau badan-badan sosial. (Buka kitab Al-Muhadzdzab, jilid 1 hal : 169)

 

Referensi :

1. Bulughul Maram

2. Fathul Qorib

3. Tanwirul Qulub

4. Hasyiah Al-Bajuri

5. Bughyatul Mustarsyidin

6. I’anah At-Tholibin

7. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab

8. Tuhfatul Muhtaj

9. Ihya Ulumuddin

10. Ahkamul Fuqaha

 

Sumber: http://www.piss-ktb.com/2012/02/375-zakat-ngaji-bab-zakat-fitrah.html

 
by | Team IT Center |