Selamat Datang di Website Resmi MI Krandegan 1

.

SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA RAMADHAN 1442 H, SEMOGA ALLAH SELALU MERIDLOI PERJUANGAN MIKASA

02 Februari 2014

Urgensi Boarding School Bagi Pendidikan Karakter Anak Madrasah

Memasuki abad ke 21, kita seperti sedang disuguhi tontonan perlombaanyang diikuti oleh bangsa-bangsa di dunia dalam rangka pengembangan berbagai teknologi strategis di era globalisasi. Kemudian tontonan beralih pada perubahan budaya, gaya hidup dan perilaku yang sangat drastis di negara kita, sebagai dampak dari perkembangan teknologi. Terutama budaya ketimuran (Islami) yang semakin terjepit oleh budaya Barat, dikemas dalam beragam media dan cara, serta mengikis sekat-sekat budaya, geografis, dan ideologi sebuah negara. Ketidakstabilan keadaan yang selama ini juga melanda Indonesia, cukup mengganggu proses belajar mengajar di Indonesia, terutama dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga berpotensi mempengaruhi kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa mendatang. Padahal kita tahu, tantangan dalam menghadapi era globalisasi adalah dengan meningkatkan daya saing bangsa Indonesia melalui SDM yang berkualitas.
Dengan melihat kondisi tersebut maka dirasa perlu dilakukan suatu upaya antisipasi dengan melakukan perbaikan sistim pendidikan, yaitu pendidikan berkarakter.Visi pendidikan nasional yaitu, ”mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermoral dan berakhlak” mengandung implikasi bahwa penyelenggaraan pendidikan haruslah mampu memadukan pendidikan ilmiah dengan pendidikan moral dan akhlak. Nilai-nilai agama adalah nilai-nilai universal yang dapat diimplementasikan dalam segala bidang. Oleh karena itu, Islam sebagai agama yang memiliki nilai-nilai luhur yang ajarannya bersifat menyeluruh, melingkupi semua bidang kehidupan manusia menjadi alternatif pilihan terbaik untuk dijadikan landasan pengembangan sistim pendidikan.
Berkaitan dengan pola pandang di atas, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah), dan penyelenggaraan sekolah berasrama yang sering disebut dengan Boarding School. Sesungguhnya term Boarding School bukan sesuatu yang baru dalam konteks pendidikan di Indonesia. Karena sudah sejak lama lembaga pendidikan di Indonesia menghadirkan konsep pendidikan Boarding School yang di beri nama “pondok pesantren”. Pondok pesantren ini adalah awal mula dari adanya Boarding School di Indonesia.Pendidikan pondok pesantren atau pendidikan kepesantrenan (Boarding School) adalah sebutan bagi sebuah lembaga yang didalamnya terjadi kegiatan pendidikan yang melibatkan peserta didik dan pendidik, serta memungkinkan untuk berinteraksi dalam waktu 24 jam setiap harinya. Pendidikan kepesantrenan (Boarding School) lebih dikenal di indonesia dengan nama pondok pesantren (Michailhuda, 2010). Banyak keunggulan yang terdapat dalam sistem pemondokan atau boarding school ini. Dengan sistem mondok, seorang siswa atau santri tidak hanya belajar secara kognitif, melainkan juga afektif dan psikomotor. Tujuan pembelajaran afektif yaitu mencerdaskan daya pikir siswa untuk pengembangan intelektual. Sementara menghadapi era modern seperti sekarang ini, otak siswa tidak lagi cukup dengan dipenuhi ilmu pengetahuan, melainkan perlu keterampilan dan kecerdasan berhati nurani. Sebab, pada kenyataannya, dalam menghadapi kehidupan, manusia menyelesaikan masalah tidak cukup dengan kecerdasan intelektual, melainkan perlu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Kenyataannya, mengajarkan kecerdasan emosional dan spiritual tidak cukup dilakukan secara kognitif, sebagaimana mengajarkan kecerdasan intelektual. Dalam hal ini diperlukan proses internalisasi dari berbagai pengertian yang ada dalam rasio ke dalam hati sanubari.Salah satu cara terbaik mengajarkan dunia afektif adalah pemberian teladan dan contoh dari para pemimpin dan orang-orang yang berpengaruh di sekitar anak. Dengan mengasramakan anak didik sepanjang 24 jam, anak didik tidak hanya mendapatkan pelajaran secara kognitif, melainkan dapat menyaksikan langsung bagaimana perilaku ustadz/ustadzah, guru, dan orang-orang yang mengajarkan mereka. Para siswa bisa menyaksikan langsung, bahkan mengikuti imam, bagaimana cara salat yang khusuk, misalnya. Ini sangat berbeda dengan pelajaran salat, misalnya, yang terkadang tanpa disertai contoh dan pengalaman makmum kepada imam yang salatnya khusuk.
Di samping itu, dengan sistem boarding school, para pimpinan pesantren dapat melatih psikomotorik anak agar lebih optimal. Dengan otoritas dan wibawa yang dimiliki, para guru mampu mengoptimalkan psikomotorik siswa, baik sekadar mempraktikkan berbagai mata pelajaran dalam bentuk gerakan-gerakan motorik kasar maupun motorik lembut, maupun berbagai gerakan demi kesehatan jiwa dan psikis anak.
Kelebihan-kelebihan yang lain adalah sistem boarding lebih menekankan pendidikan kemandirian. Berusaha menghindari dikotomi keilmuan (ilmu agama dan ilmu umum). Dengan pembelajaran yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum diharapkan akan membentuk kepribadian yang utuh bagi setiap siswanya. Pelayanan pendidikan dan bimbingan dengan sistem boarding school yang diupayakan selama 24 jam, akan diperoleh penjadwalan pembelajaran yang lebih leluasa dan menyeluruh, segala aktifitas siswa akan senantiasa terbimbing, kedekatan antara guru dengan siswa selalu terjaga, masalah kesiswaan akan selalu diketahui dan segera terselesaikan, prinsip keteladanan guru akan senantiasa diterapkan karena murid mengetahui adanya aktifitas guru selama 24 jam. Pembinaan mental siswa secara khusus mudah dilaksanakan, ucapan, perilaku dan sikap siswa akan senantiasa terpantau, tradisi positif para siswa dapat terseleksi secara wajar, terciptanya nilai-nilai kebersamaan dalam komunitas siswa, komitmen komunitas siswa terhadap tradisi yang positif dapat tumbuh secara leluasa, para siswa dan guru-gurunya dapat saling berwasiat mengenai kesabaran, kebenaran, kasih sayang, dan penanaman nilai-nilai kejujuran, toleransi, tanggungjawab, kepatuhan dan kemandirian dapat terus-menerus diamati dan dipantau oleh para guru/ pembimbing serta semua elemen yang ada dalam komplek sekolah, terlibat dalam proses pendidikan. Pada dasarnya, semua orang dewasa yang ada di Boarding School adalah guru.
Disamping itu, sekolah berasrama mampu menampung siswa dari berbagai latar belakang yang tingkat heteroginitasnya tinggi. Siswa berasal dari berbagai daerah yang mempunyai latar belakang sosial, budaya, tingkat kecerdasan, kemampuan akademik yang sangat beragam. Kondisi ini sangat kondusif untuk membangun wawasan national dan siswa terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda sehingga sangat baik bagi anak untuk melatih dan menghargai pluralitas (keragaman).
Sekolah berasrama juga berupaya secara total untuk menjaga keamanan siswasiswinya. Tata tertib dibuat lengkap dengan sanksi bagi pelanggarnya. Daftar “dosa” dilist sedemikan rupa dari dosa kecil, menengah sampai berat. Selain itu, jaminan keamanan diberikan oleh sekolah berasrama, mulai dari jaminan kesehatan (tidak terkena penyakit menular), tidak narkoba, terhindar dari pergaulan bebas, dan jaminan keamanan fisik (tawuran dan perpeloncoan/bullying), serta jaminan pengaruh kejahatan dunia maya.
Secara singkat, apabila sebuah sekolah berasrama benar-benar memiliki program yang komprehensif-holistik, fasilitas yang lengkap, guru yang berkualitas, dan lingkungan yang kondusif dan terkontrol, akan lebih dapat memberikan jaminan kualitas jika dibandingkan dengan sekolah konvensional. Dalam sekolah berasrama, pintar tidak pintarnya anak, baik dan tidak baiknya anak sangat tergantung pada sekolah karena 24 jam anak bersama sekolah. Hampir dapat dipastikan tidak ada variable lain yang “mengintervensi” perkembangan pendidikan anak, seperti pada sekolah konvensional yang masih dibantu oleh lembaga bimbingan belajar, lembaga kursus dan lain-lain. Sekolah-sekolah berasrama dapat melakukan treatment individual, sehingga setiap siswa dapat melejitkan bakat dan potensi individunya (Abd A’la, 2006:49).
Akan tetapi, kondisi Boarding School di Indonesiatidak sepenuhnya mendapatkan poin seratus, hal tersebut dikarenakan sampai saat ini sekolah-sekolah berasrama masih banyak memiliki persoalan yang belum dapat diatasi sehingga banyak sekolah berasrama layu sebelum berkembang. Adapun faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
1. Ideologi Boarding School yang Tidak JelasTerm ideology digunakan untuk menjelaskan tipologi atau corak sekolah berasrama, apakah religius, nasionalis, atau nasionalis-religius. Yang mengambil corak religius sangat beragam dari yang fundamentalis, moderat sampai liberal. Masalahnya dalam implementasi ideologinya, terlalu banyak improvisasi yang bias dan keluar dari pakem atau frameideology tersebut. Hal itu juga serupa dengan yang nasionalis, tidak mengadop pola-pola pendidikan kedisiplinan militer secara kaffah, akibatnya terdapat kekerasan dalam sekolah berasrama. Sementara yang nasionalis-religius dalam praktik sekolah berasrama masih belum jelas formatnya.
2. Dikotomi guru sekolah versus guru asrama (pengasuhan)Sampai saat ini sekolah berasrama kesulitan mencari guru yang cocok untuk sekolah berasrama. Sekolah-sekolah tinggi keguruan (IKIP dan Mantan IKIP) tidak “memproduksi” guru-guru sekolah berasrama. Akibatnya, masing-masing sekolah mendidik guru asramanya sendiri sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh lembaga tersebut. Guru sekolah (mata pelajaran) bertugas hanya untuk mengampu mata pelajarannya, sementara guru pengasuhan adalah tersendiri hanya bicara soal pengasuhan. Padahal idealnya, dua kompetensi tersebut harus melekat dalam sekolah berasrama. Ini penting untuk tidak terjadinya saling menyalahkan dalam proses pendidikan antara guru sekolah dengan guru asrama.
3. Kurikulum Pengasuhan yang Tidak BakuSalah satu yang membedakan sekolah-sekolah berasrama adalah kurikulum pengasuhannya. Kalau bicara kurikulum akademiknya dapat dipastikan hampir sedikit perbedaannya. Semuanya mengacu kepada kurikulum KTSP-nya produk Depdiknas dengan ditambah pengayaan atau suplemen kurikulum international dan muatan lokal. Tapi kalau bicara tentang pola pengasuhan sangat beragam, dari yang sangat militer (disiplin habis) sampai ada yang terlalu lunak. Kedua-duanya mempunyai efek negative. Pola militer melahirkan siswa yang berwatak kemiliter-militeran dan terlalu lunak menimbulkan watak licik yang bisa mengantar siswa mempermainkan peraturan.
4. Sekolah dan Asrama Terletak Dalam Satu LokasiUmumnya sekolah-sekolah berasrama berada dalam satu lokasi dan dalam jarak yang sangat dekat. Kondisi ini yang telah banyak berkontribusi dalam menciptakan kejenuhan anak berada di sekolah Asrama.
Singkatnya, lembaga pendidikan boarding school merupakan lembaga pendidikan yang memadukan sistem pendidikan pesantren dan sekolah sehingga dapat dijadikan solusi bagi para orang tua yang menginginkan anaknya dapat memahami pengetahuan bukan hanya pada pengetahuan umum tetapi juga pengetahuan agama. Boarding school adalah salah satu dari model pendidikan terpadu, yang menekankan pada output yang berakhlakul karimah. Dengan adanya boarding school, ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh,di antaranya : bagi orang tua yang keduanya sibuk bekerja adalah suatu nilai lebih tersendiri karena anak telah tertangani oleh para praktisi pendidikan, dalam penanaman kedisiplinan, juga terhindar dari pengaruh buruk media maupun lingkungan masyarakat yang cenderung merusak. Kemudian, bagi siswa, kemungkinan besar lebih terkondisi oleh lingkungan sekolah melalui pembinaan akhlaq dari para tenaga pendidik sepanjang waktu terutama pada waktu shalat, menjelang istirahat, dan selesai fajar. Di waktu itulah siswa mengenal hakikat kehidupan lewat pendekatan para pengasuhnya. Disamping itu, siswa juga lebih terjaga dari efek buruk lingkungan diluar pesantren/sekolah, seperti tawuran pelajar, kebut-kebutan di jalan raya dan sebagainya. Lingkungan pesantren lebih steril dari berbagai hal negatif, terutama diwaktu-waktu senggang karenaadanya pengawasan sepanjang hari melalui para ustadz/ustadzah yang senantiasa mensosialisasikan kehidupan yang Islami, sehingga akan lebih efektif dalam pendidikan karakter bagi siswa.
Jadi, sekolah berasrama adalah salah satu alternatif bagi para orang tua dalam rangka pendidikan berkarakter. Pendidikan sebagai sebuah proses belajar memang tidak cukup dengan sekedar mengejar masalah kecerdasannya saja. Berbagai potensi anak didik atau subyek belajar lainnya juga harus mendapatkan perhatian yang proporsional agar berkembang secara optimal. Karena itulah aspek atau factor rasa atau emosi maupun ketrampilan fisik juga perlu mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang sehingga meningkatkan kualitas SDMyang optimal bagi bangsa dan negara. Oleh sebab itu dukungan fasilitas terbaik, tenaga pengajar berkualitas, dan lingkungan yang kondusif harus didorong untuk dapat mencapai cita-cita tersebut.

 
by | Team IT Center |